Praktek Dokter Gigi Pasca covid-19

Penulis: drg.Rustan Ambo Asse, Sp.Pros
Tanggal posting: 2021-11-04

Meskipun wabah covid-19 belum berakhir, dan sebagian besar para dokter gigi menutup klinik dan praktek mandiri ataupun pelayanan terbatas untuk kasus kegawatdaruratan di puskesmas-puskesmas ataupun Rumah Sakit. Rasa cemas dan sikap waspada mungkin akan menjadi semacam gejala post traumatik pasca wabah, seperti apa dan bagaimana para dokter gigi nantinya setelah pelayanan praktek dibuka kembali?

Pertanyaan itu secara umum akan mewakili efek perubahan sosial yang timbul. Dunia akan membuat defenisi-defenisi baru terhadap berbagai hal. Cuci tangan yang dulunya dianggap sebagai standar kesehatan minimal dan kerap dianggap "remeh temeh" mungkin akan menjadi semacam protokol wajib bagi semua orang, memakai masker jika bepergian, membawa hand sanitizer dan dipakai setiap saat.

Demikian juga sikap profesional seorang dokter gigi dalam ruangan praktek. Secara teoritis potensi terjadinya infeksi silang dalam ruang praktek dokter gigi memang menjadi momok yang membahayakan. HIV dan Hepatitis bisa menular dari pasien akibat adanya transfer darah antara pengidap dan dokter atau sebaliknya, hal tersebut bisa terjadi karena kecelakaan kerja. Penyakit TBC juga dapat menular dengan mudah, dan berbagai macam penyakit berpotensi tertular karena para dokter gigi berhadapan secara langsung dengan mulut , air liur dan darah pasien.

Droplet dan Aerosol bukan hal baru bagi dokter gigi, perawatan "scaling' dan "pengeboran" dengan memakai "Handpeice" dalam proses restorasi gigi pasti menimbulkan residu aerosol. Dalam konteks transmisi penularan covie-19 profesional dokter gigi menempati posisi yang paling rentan dalam lingkungan praktek, itulah sebabnya dalam pemakaian APD masuk kategori level 3 - cover all Jumpsuits, kacamat Googles, Masker N95 dan Boots.

Evaluasi Ruang Praktek

Transmisi penularan covid-19 setidaknya memberikan alarm bagi dokter gigi untuk lebih berhati-hati. Perlu dilakukan evaluasi secara komprehensif tidak pada aspek APD saja ,tetapi jauh daripada itu perlu dilakukan penegasan pentingnya standarisasi area steril dan nonsteril , mekanisme instrumen kotor dan steril, alur penerimaan atau triase pasien, bahkan dalam era yang akan datang kemungkinan besar proses anamnesis tidak lagi perlu dilakukan secara tatap muka, melalui video call atau massengers merupakan alternatif efektif dan efesien. Telemedicine kemungkinan menjadi trend baru pasca covid-19.

Tata ruang praktek, sirkulasi udara dan cahaya mesti menjadi suatu kesatuan yang utuh dan terstandarisasi yang mendukung implementasi pelayanan praktek yang aman bagi dokter, perawat gigi, pasien , admin, cleaning service ataupun satpam. Interaksi yang terjadi harus dipastikan memenuhi kaidah "zero infection".

Bagaimana Peran PDGI?

Perubahan ini tentu akan memicu pertukaran gagasan dikalangan anggota PDGI. Apakah perlu organisasi profesi ini membuat sebuah standarisasi baru pasca wabah? yang dengan standar tersebut dokter gigi di Indonesia memiliki standarisasi penyeleggaraan praktek yang seragam.

Jika demikian, maka dengan adanya agenda Kongres PDGI yang tertunda ini memungkinkan pengurus PB PDGI membuat draft khusus sehingga setelah pelaksanaan Kongres di Balikpapan nanti masing-masing anggota sudah memiliki acuan praktek yang bisa diimplementasikan di tempat kerja masing-masing.

Wabah covid-19 memberikan catatan penting. Era modern dan kecanggihan teknologi kedokteran gigi rupanya hanya sebatas titik awal untuk memulai sebuah era baru. Sebuah masa yang menuntut manusia untuk lebih banyak belajar, lebih menginternalisasi kecerdasan buatan sebagai sesuatu yang tidak sama sekali abadi.

Di tengah merebaknya covid-19 beberapa vendor memberikan informasi via grup Whatshapp, di media sosial. Mereka menawarkan mesin suction extra oral yang bisa menyedot aerosol, tentu saja teknologi secanggih itu seperti biasa mesti diimpor dari luar negeri dengan harga yang tak murah.

Sementara itu, ketika wabah covid ini menyerang, Negara Amerika serikat saja masih kekurangan APD, pertanyaanya mungkinkah industri teknologi kesehatan di Indonesia bisa menggeliat pada masa yang akan datang ? Agar kita sebagai bangsa tidak terus menerus menjadi konsumen dan pembeli.